Dariketerangan ayat-ayat dan hadits diatas, jalaslah bahwa keadilan merupakan sendi pokok ajaran Islam yang harus ditegakkan. Dengan ditegakkannya keadilan dlam segala hal, akan menjamin segala urusan menjadi lancar. Sebaliknya, apabila keadilan dikesampingkan dan diabaikan akan berkibat perpecahan dan kehancuran di kalangan umat.
Artikel kali ini akan mengulas Surat al-Maidah ayat 8 yang berisi perintah Allah SWT untuk berbuat adil. Sebagai sebuah ajaran universal, keadilan sangat ditekankan dalam Islam dan diteladankan oleh Rasulullah SAW sepanjang kehidupannya. Dalam konteks moderasi beragama dan kehidupan bernegara, prinsip ini telah juga diteladankan para pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila. Mari kita simak bersama bunyi ayat dan penjelasannyaيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَya ayyuha alladzina aamanuu kuunuu qawwamiina lillaahi syuhada’a bi al-qisthi wa laa yajrimannakum syana’aanu qawmin alaa allaa ta’diluu, i’diluu huwa aqrabu li al-taqwaa wattaqu Allah inna Allah khabiirun bimaa ta’ orang-orang beriman! Jadilah kalian penegak keadlian karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” Surat al-Maidah ayat 8Musthafa al-Maraghi menerangkan bahwa ayat ini terletak setelah keterangan tentang perintah menunaikan akad/janji, kebolehan dan larangan tentang makanan, dan kebolehan memakan makanan Ahli Kitab, dan perintah untuk bersuci. Pada ayat ini, menurut al-Maraghi, ditekankan soal tata cara bergaul muamalah dengan orang lain baik itu kawan maupun “syahadah” dalam ayat di atas, menurut al-Maraghi, adalah perumpamaan ibarat agar orang-orang bersikap adil dan berani menunjukkan kebenaran sebagaimana tugas seorang hakim ketika memutuskan perkara. Syahadah juga bisa diartikan sebagai kesaksian mufasir seperti al-Thabari, Ibnu Asyur, dan Quraish Shihab mengaitkan ayat 8 surat al-Maidah ini dengan Surat al-Nisa ayat 135 karena kemiripan ayat أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًاArtinya “Hai orang-orang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia yang terdakwa kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan kebaikannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.” Surat al-Nisa ayat 135Menurut Quraish Shihab perbedaan redaksi antara Surat al-Maidah ayat 8 dengan surat al-Nisa ayat 135 terletak pada konteks ketetapan hukum. Pada surat al-Nisa ayat 135 turunnya ayat dilatarbelakangi kasus seorang Muslim yang menuduh Yahudi secara tidak sah, sehingga yang ditekankan ayat adalah pentingnya keadilan, baru kemudian kesaksian. Karena itu redaksi ayatnya mendahulukan kata al-qisth, baru kata kasus surat al-Maidah ayat 8 ini dikemukakan setelah adanya ikatan perjanjian antara umat dengan Allah dan Rasul-Nya, sehingga yang ditekankan pada ayat adalah pentingnya melaksanakan secara sempurna seluruh perjanjian tersebut. Pada konteks inilah redaksi kata qawwamiina lillah digunakan dan didahulukan ketimbang kata kita memahami redaksi ayat dan konteks turunnya ayat, bisa dikatakan bahwa pada surat Al-Nisa yang ditekankan adalah kewajiban berlaku adil terhadap diri sendiri, kedua orang tua dan kerabat lainnya. Sedangkan pada surat al-Maidah ada dalam konteks permusuhan dan kebencian, sehingga yang ditekankan adalah kewajiban melakukan segala sesuatu karena Allah pentingnya prinsip keadilan ini, dalam dasar Negara kita Pancasila, kata adil disebut sampai dua kali, yakni pada sila kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sebagaimana rumusan ini, maka cita-cita berbangsa dan bernegara para pendiri adalah menuju keadilan dalam bingkai kemanusiaan universal dan kesejahteraan Yudi Latif dalam bukunya Mata Air Keteladanan, prinsip keadilan dan kesejahteraan ini bukan saja harus bisa dirasakan segenap warga hari ini, melainkan harus bisa terus diupayakan dan diteruskan bagi generasi ke generasi prinsip upaya keadilan dan kesejahteraan ini, kita bisa belajar dari Bung Hatta, salah satu bapak proklamator Indonesia. Kepribadiannya yang sederhana patut dicontoh pejabat publik saat ini. Bukan hanya gaya hidupnya yang sederahana, Bung Hatta tidak pernah mau menggunakan uang yang bukan haknya. Diceritakan bahwa Bung Hatta adalah Wakil Presiden yang setiap bulan selalu mengembalikan uang sisa anggaran rutin biaya rumah tangganya ke kas penutup penulis menekankan bahwa prinsip keadilan yang ditekankan dalam al-Quran perlu kita terapkan dalam kehidupan berbangsa. Prinsip ini pula yang ditegaskan dalam dasar negara kita, Pancasila. Oleh karenanya, keadilan merupakan pokok yang harus dipegang betul oleh segenap umat Islam Indonesia. Karena tidak hanya tertuang dalam kitab suci al-Quran, tetapi juga termaktub dalam dasar ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI
Ideologinegara RI adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa.". Sesuai sila pertama Pancasila. Pancasila merupakan nilai-nilai yang diambil dari ajaran Islam sehingga mustahil agama menjadi musuh Pancasila. Meskipun makalah ini membahas mengenai Pancasila yang nilai-nilainya terkandung dalam Al-Quran, Hadits dan ajaran agama Islam, tetapi tidak
Dalam tulisan-tulisan terdahulu, tampak jelas bahwa Islam tidak mementingkan bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena itu, Islam tidak mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, sebuah konsep negara bangsa nation-state menjadi sama nilainya dengan negara Islam. Pentingnya fungsi tersebut, akan dibicarakan dalam tulisan ini. Karenanya, prinsip pentingnya fungsi harus sudah dimiliki ketika membahas tulisan ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara agama, termasuk konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan betapa bentuk negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam, karena segala sumber-sumber tekstual adillah naqliyah tidak pernah membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah berbagai fungsi dari sebuah negara, dan ini mengaharuskan kita untuk membuat telaahan secara mendalam mengenai konsep Negara Islam tersebut. Tanpa telaahan yang mendalam, kita akan bertindak gegabah dan bersikap emosional dalam menyusun konsep tersebut. Hal ini nyata-nyata bertentangan dengan petunjuk tekstual itu sendiri. Kitab suci Al-qur’an telah berfirman “bertanyalah kepada yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui masalah yang dibicarakan” fa al-as’aluu ahla al-dzikri in kuntum laa ta’lamuun.Sikap ini, harus di ambil dan dimiliki kaum muslimin, jika mereka ingin menegakkan agama dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran-Nya. Sikap emosional itu sendiri, dalam jangka panjang akan sangat merugikan, sedangkan dalam jangka pendek akan menambah keruwetan dalam perjuangan kaum muslimin sendiri. Ini bukan berarti penulis menentang gagasan adanya partai Islam, bahkan menegaskan bahwa parai-partai tersebut harus membuat telaahan tentang Negara Islam, hingga gagasan tersebut benar-benar dapat diterima oleh akal yang sehat dan oleh hati nurani kita sendiri. Hanya dengan sikap seperti itulah, perjuangan kaum muslimin akan membawa hasil yang diharapkan, dan mampu membawa kaum muslimin tersebut kepada pemenuhan tujuan yang diharapkan “negara yang baik, penuh dengan pengampunan Tuhan” baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.*****Salah satu fungsi negara dalam pandangan Islam, adalah menegakkan keadilan. Firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an berbunyi; “wahai orang-orang yang beriman, tegakkah keadilan dan jadilah saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri” yaa ayyuha al-ladzina amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhada’a lillahi walau ala anfusikum. Jelas di sini, yang diminta adalah fungsi keadilan, bukannya bentuk penyelenggaraan keadilan oleh dari ayat ini, Islam lebih mementingkan penyelenggaraan keadilan, dan bukan bentuknya. Adakah keadilan itu mengambil bentuk ditetapkannya hukuman-hukuman pidana, ataukah berupa tender yang independen dan bebas dari permainan orang dalam insider’s trading, tidaklah menjadi persoalan benar. Yang terpenting adalah berfungsinya keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang harus dipegangi oleh umat Islam dalam menegakkan negara, jika diinginkan kesejahteraan bersama dapat diraih oleh seluruh warga agak menyimpang dari pembahasan pokok ayat ini, dapat dikemukakan pendapat Al-athmawi, mantan ketua Mahkamah Agung MA Mesir, bahwa Hukum Pidana Islam mengenal prinsip menghindari dan menghukum deterrence and punishment terhadap/atas pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi, karenanya setiap hukum yang memuat pinsip ini, termasauk hukum Pidana Barat Napoleonic Criminal Law yang berlaku di Mesir saat ini, sudah berarti melaksanakan hukum Pidana Islam tersebut. Memang, terjadi perdebatan sengit tentang pendapat Al-athmawi tersebut, tetapi penjelasan di atas menunjukkan besarnya kemungkinan yang dikandung oleh firman Allah di atas dalam penyelenggaraan negara yang sesauai dengan prinsip-prinsip demikian, menjadi jelas bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, yang terpenting adalah bagaimana keadilan itu dapat diwujudkan, bukannya bentuk negara yang diinginkan. Maka, jelaslah Islam lebih mementingkan fungsi dan bukan bentuk negara, suatu hal yang sering kita lupakan. Karenannya, pembahasan kita selanjutnya lebih baik ditekankan pada fungsi penyelenggaraan pemerintahan dari pada bentuk negara yang diinginkan.*****Strategi yang demikian sederhana, ternyata tidak dimengerti banyak orang. Apakah sebabnya? Karena orang lebih mementingkan formalitas sesuatu dari pada fungsinya. Tetapi, Islam juga mempunyai formalitas lain, yaitu pentingnya permusyawaratan/rembugan. Kitab suci Al-qur’an menyatakan; “dan persoalan mereka haruslah di musyawarahkan oleh mereka sendiri” wa amruhum syura bainahum, berarti secara formal Islam mengharuskan adanya demokrasi. Dalam sistem demokratik yang sebenarnya, suara penduduk yang memilih voter’s voice yang menentukan, dalam adagium bahasa latin disebutkan “vox populi vox dei” suara rakyat adalah suara Tuhan, jelas menunjukkan betapa penting arti demokrasi bagi Islam. Kalau rakyat memilih bukan partai Islam yang memerintah, dengan sendirinya formalitas keadilan juga ikut hal demikian, maka partai-partai Islam dan kaum muslimin haruslah menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam, bukannya bentuk lahiriyyah. Dari pembahasan singkat tentang fungsi keadilan yang harus terwujud dalam pemerintahan sebuah negara, menjadi nyata bagi kita bahwa mereka yang tidak menginginkan Negara Islam, tetapi menuntut pelaksanaan keadilan yang nyata dalam kehidupan, berarti telah melaksanakan ajaran Islam. Karena itu, kita harus mementingkan arti penyelenggaraan keadilan dalam kehidupan kita, sebagai amanat yang harus kita perjuangkan habis-habisan. Justru mereka yang mementingkan formalitas Hukum Islam tetapi melupakan penyelenggaraan keadilan ini, harus dipertanyakan sudah memperjuangkan ajaran Islam-kah atau belum? Sederhana bukan?Duta Masyarakat, 1/6/2002
Tauhid(keesaan), yaitu ajaran monotheisme yang murni dan mutlak adalah dasar islam yang pertama dan utama. Abdul aziz, perspektif islamimplementasi etika islami untuk dunia usahakata pengantarprof. Keadilan Itu Sendiri Adalah Sendi Pokok Ajaran Islam Yang Harus - Cara Mengajarku Sebuah bangunan yang baik adalah bangunan dengan fundasi yang kuat.
Salah satu tema pokok Al-Quran ialah keadilan. Allah swt menggunakan kosakataadl, qisth, dan mizanuntuk mengungkapkan keadilan. Kata adl yang artinya adil, seimbang, tidak berat sebelah, terulang 21 kali, qisth 22 kali, dan mizan 23 kali. Di antara ayat-ayat keadilan yang dimaksud adalah sebagai berikut ditulis terjemahnya. Hai orang-orang beriman, jadilah kamu penegak kebenaran, sebagai saksi dengan adil karena Allah, dan janganlah kebencianmu kepada orang membuat kamu berlaku tidak adil. Berlakulah adil. Itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Allah tahu benar apa yang kamu kerjakan. QS 58. Allah memerintahkan berbuat adil, mengerjakan amal kebaikan, bermurah hati kepada kaum kerabat, dan Dia melarang melakukan perbuatan keji, mungkar dan kekejaman. Dia mengajarkan kamu supaya menjadi peringatan bagimu. QS 1690. Karena itu ajaklah beriman dan sabarlah sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan janganlah ikuti hawa nafsu mereka, tapi katakanlah, “Aku beriman pada apa yang diturunkan Allah tentang Kitab dan aku diperintahkan berbuat adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami perbuatan kami dan bagimu perbuatan kamu; tak perlu ada pertikaian antara kami dengan kamu. Allah akan menghimpun kita semua, dan kepada-Nya kita kembali.” QS 4215. Allah swt memerintahkan setiap orang untuk berlaku adil kepada sesama. Adil dalam memutuskan perkara dan adil dalam memberikan kesaksian. Kebencian dan sentimen pribadi tidak boleh menghalangi seseorang untuk berlaku adil. Berlaku adil identik dengan menegakkan kebenaran, mengerjakan amal kebaikan, dan takwa kepada Allah swt. Berlaku adil dan berbuat baik dalam suasana yang menyenangkan atau dalam suasana netral sungguh patut dipuji. Seseorang akan benar-benar diuji bila ia harus berlaku adil terhadap siapa yang membencinya atau terhadap orang yang tidak ia sukai. Setiap orang dituntut memiliki kesadaran moral yang tinggi untuk berlaku adil kapan saja dan di mana pun ia berada. Allah tidak melarang kamu dari mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu untuk bersikap baik dan berlaku adil terhadap mereka. Allah mencintai orang yang adil. QS 608. Hai orang-orang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap diri kamu sendiri, orangtua kamu, dan kerabatmu. Baik ia kaya atau miskin; Allah akan melindungi keduanya. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, supaya kamu tidak menyimpang. Jika kamu memutarbalikkan dan menyimpang dari keadilan, maka Allah Maha Tahu atas segala perbuatan kamu. QS 4135. Adil adalah sifat Allah swt. Setiap orang niscaya berlaku adil kepada kawan maupun lawan. Untuk menegakkan keadilan orang harus menjadi saksi demi Allah, sekalipun itu akan mengganggu kepentingan diri sendiri atau kepentingan mereka yang dekat atau yang disayangi. Keadilan harus berjalan sekalipun langit akan runtuh. Keadilan Islam lebih tinggi daripada keadilan formal menurut hukum positif mana pun yang dibuat manusia. Ia menembus sampai ke lubuk perasaan paling dalam, karena muslim melakukannya di hadapan Allah Yang Mengetahui segala benda, segala kerja dan gerak hati. Sikap memihak ke mana pun tidak benar. Setiap orang niscaya berlaku adil tanpa harus merasa takut atau terbawa oleh perasaan. Allah swt Maha Adil dan Bijaksana QS 954-8. Dia akan memberikan pahala yang tiada putusnya kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal kebaikan. Mereka tak perlu takut pada pengadilan Ilahi di akhirat nanti. Adapun orang-orang yang jahat tak akan dapat menghindar dari hukuman-Nya QS 997-8, 101/6-9. Setiap perbuatan baik maupun buruk, berapa pun bobot dan besarnya, akan mendapat imbalan. Penilaian di akhirat demikian sempurna, meliputi gerak hati, godaan, dan hasutan di masa lalunya. Jika kebaikan yang lebih banyak, hasil penimbangan itu akan menguntungkannya. Ridha Allah adalah puncak segala kebahagiaan. Siapa yang menjadi perantara dalam hal kebaikan, ia akan memperoleh bagiannya dan siapa yang menjadi perantara dalam hal kejahatan, ia akan memikul bagiannya juga. Allah Maha Kuasa atas segalanya. QS 485. Allah tidak pernah merugikan seberat zarah sekalipun. Jika itu perbuatan baik Allah akan melipatgandakannya dan akan memberikan dari Dia Sendiri pahala yang besar. QS 440. Siapa yang berinisiatif melakukan suatu jenis kebaikan, maka ia akan memperoleh bagiannya, dan siapa yang berinisiatif melakukan kejahatan, akan menanggung risikonya. Allah swt tidak akan mengurangi sezarah pun pahala orang yang mengerjakan kebajikan. Allah Maha Adil dan Maha Pemurah pada hamba-hamba-Nya. Satu kebaikan hamba dibalas oleh Allah swt sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus QS 6160, 2261, 1021-8. Menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan perjuangan, pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain. Rugilah mereka yang menyia-nyiakan peluang emas yang dibentangkan Allah swt untuk mengisi pundi-pundi amal demi masa depan terjauh nanti. Bentuk kebodohan manusia yang paling mendasar adalah melupakan tujuan yang hendak mereka capai. Friedrich Nietzsche. Tujuan kita adalah untuk mengukuhkan kehidupan ini. Kita hanya perlu menjalani hidup ini dengan penuh kesadaran, kata John Cage. Siapa yang menghendaki yang fana dalam hidup ini, Kami segerakan baginya yang demikian, apa yang Kami kehendaki, kepada yang Kami kehendaki, kemudian Kami sediakan jahanam baginya; di dalamnya ia terbakar, hina dan terusir. Siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha untuk itu dengan sungguh-sungguh, dan dia beriman, mereka itulah yang usahanya diterima oleh Allah swt. QS 1718-19. Allah swt menghargai setiap usaha baik manusia. Seseorang yang memikul suatu beban tidak akan memikul beban orang lain. Bahwa yang diperoleh manusia hanya apa yang diusahakannya; bahwa usahanya akan segera terlihat. Kemudian ia akan diberi balasan pahala yang sempurna. Bahwa kepada Tuhamu tujuan akhir. QS 5338-42. Allah Yang Maha Adil mencintai keadilan dan orang-orang yang berlaku adil. Baca tulisan-tulisan Muhammad Chirzin lainnya Kumpulan Tulisan Prof. Dr. Muhammad Chirzin, [zombify_post]
Meskipunbegitu luasnya petunjuk Islam, pada dasarnya pokok ajarannya hanyalah kembali pada tiga hal yaitu tauhid, taat dan baro'ah/berlepas diri. Inilah inti ajaran para Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah kepada ummat manusia. Maka barangsiapa yang tidak melaksanakan ketiga hal ini pada hakikatnya dia bukanlah pengikut dakwah para Nabi.
403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID vETDHn-hqu6q0Jj-TxsqG83ycIVHB0zninKmiGatNMw53T6YrWrdtA==
Dijadikankeadilan sebagai prinsip politik Islam, maka mengandung suatu konsekuensi bahwa para penguasa atau penyelenggara pemerintahan harus melaksanakan tugasnya dengan baik dan juga berlaku adil terhadap suatu perkara yang dihadapi, penguasa haruslah adil dan mempertimbangkan beberapa hak warganya dan juga mempertimbangkan kebebasan berbuat bagi warganya berdasarkan kewajiban yang telah
artikel ini hendak mengeksplorasi tentang keadilan yang dikonsepkan oleh Islam dalam dalam berbagai keilmuan. Dalam Islam, selain dikenal adanya kewajiban, terdapat pula apa yang dinamakan dengan hak. Terkait dengan hak tersebut, tentu tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut dengan keadilan atau rasa adil. Keadilan yang terdapat dalam ajaran Islam dikemukakan didoktrinkan oleh berbagai aspke keilmuan baik itu filsafat, akhlak, teologi maupun hukum. Penelitian ini membahas secara khusus mengenai hubungan antara hak dan keadilan yang dikonsepkan dan diajarkan dalam Islam. Hasilnya, bahwa dalam Islam pemberian dan ketentuan hak seseorang ataupun kelompok tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan prinsip penting yakni keadilan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam Vol. 10 No. 2 Juli-Desember 2019, p. 167-181. 167 Konsep Islam Tentang Keadilan Kajian Interdisipliner Hafidz Taqiyuddin Universitas Islam negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten Abstrak artikel ini hendak mengeksplorasi tentang keadilan yang dikonsepkan oleh Islam dalam dalam berbagai keilmuan. Dalam Islam, selain dikenal adanya kewajiban, terdapat pula apa yang dinamakan dengan hak. Terkait dengan hak tersebut, tentu tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut dengan keadilan atau rasa adil. Keadilan yang terdapat dalam ajaran Islam dikemukakan didoktrinkan oleh berbagai aspke keilmuan baik itu filsafat, akhlak, teologi maupun hukum. Penelitian ini membahas secara khusus mengenai hubungan antara hak dan keadilan yang dikonsepkan dan diajarkan dalam Islam. Hasilnya, bahwa dalam Islam pemberian dan ketentuan hak seseorang ataupun kelompok tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan prinsip penting yakni keadilan. Kata Kunci hak individu; hak bawaan; baik dan buruk. Pendahuluan Adanya maksud kata adil yang tidak hanya memiliki satu arti menjadikan timbulnya perbedaan pendapat mengenai keadilan yang terdapat dalam suatu hukum, yakni pemikiran mengenai keadilan yang terdapat pada hukum waris dalam hukum Islam misalnya. Jika keadilan dikaitkan dengan sifat Tuhan, maka setiap ketentuan hukum yang berasal dari-Nya, yakni berupa wahyu yang dalam tataran hukum dikenal dengan al-nuṣūṣ, harus dilaksanakan. Hal demikian, karena setiap peraturan yang sumbernya dari al-naṣṣ yang sudah tentu itu merupakan hukum yang adil. Kemudian, menurut Said Nursi w. 1960 M., esensi dari keadilan Tuhan bisa terlihat dalam aspek pemberian pahala dan siksaan terhadap suatu perbuatan. Allah melakukan itu karena bukan apa yang nampak terlihat mata, tapi karena maksud dan tujuan yang melatarbelakangi suatu Sebenarnya, hakikat keadilan itu tidak dapat diukur secara otentik, karena keadilan yang hakiki hanya dimiliki oleh zat yang maha adil yakni Allah SWT yang tercermin dalam firman-firmannya, yang selalu menekankan kepada adanya kadilan2. Walaupun demikian, keadilan dapat dicapai dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip utama keadilan, yakni a tidak adanya perlakuan berat sebelah; b 1 Badiuzzaman Said Nursi, The Words The Reconstruction of Islamic Belief and Thought, diterjemahkan oleh Huseyn Akarsu New Jersey The Light, 2005, 84 2 Misalnya adalah al-Ḥujrāt ayat 9, dan Ṣad ayat 26. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 168 yang dijadikan dasar hukum adalah tujuan mengenai apa yang dilakukan bukan mengenai proses hukumnya; c memandang suatu permasalahan dari berbagai Selain itu, dikemukakan pula oleh John Rawls4, diantara prinsip itu adalah 1. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua pihak; 2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling Said Nursi berpendapat, bahwa keadilan dalam Islam tidak cukup hanya terdapat dalam tulisan semata. Akan tetapi, keadilan harus dibarengi dengan pelaksanaannya. Praktek tersebut bisa tertuang dalam keputusan yang dilakukan Peradilan misalnya. Nursi mencontohkan praktek yang demikian itu bisa dilihat pada masa Khalifah Ali bin Abi Tholib yang bekerja sama dengan para hakim pada waktu itu dalam penegakkan hukum yang Pembahasan Adil dalam Alqur’an diungkapkan dengan beberapa kata, yaitu dan .7 Adil dapat diartikan tidak memihak, sama berat, sepatutnya, tidak berat sebelah, dan tidak sewenang-wenang. Misalnya suatu putusan pengadilan yang tidak berat dan tidak memihak kepada salah satu pihak dianggap adil, dan perlakuan pemerintah terhadap rakyat dengan tidak sewenang dapat pula disebut Kata adil dalam bahasa Arab memiliki sinonim dengan kata-kata lain, yakni , , , Berbeda dengan keadilan yang diartikan dalam bahasa Inggris dengan justice yang lawan katanya adalah injustice, kata adl , menurut Majid Khadduri, mempunyai kata yang berbeda arah dengannya, yakni jawr, dan ungkapan lain yang hampir sama maksudnya namun berbeda bentuk kata yaitu ẓulm, mayl, ṭughyān dan Jika dilihat makna yang lebih luas, ada beberapa makna yang dapat diberikan kepada maksud dari keadilan10, yakni Adil dalam arti seimbang 3 Aḥmad Amīn, Al-Akhlāq Kairo Dār al-Kutub, 1931, 174-176. 4John Rawls Bordley adalah salah satu filusuf yang berpengaruh abad kedua puluh. Ia lahir pada tanggal 21 Februari, 1921 di Baltimore, Maryland, putra William Lee Rawls dan Anna Abel Stump Rawls. Rawls menerima gelar sarjana seni dari Princeton University pada tahun 1943. Karir Rawls berkarir di Departemen Filsafat di universitas bergengsi di Inggris dan Amerika Serikat, termasuk Universitas Princeton, Oxford University, Cornell University, dan Massachusetts Institute Teknologi. Ia menjadi profesor filsafat di Harvard University pada tahun 1962. Bandingkan dengan T. Henderick & M. Barnyeat ed, Philosophy as It is, USA Harmondsworth, 1979, 89. 5 John Rawls, A Theory of Justice, 6th Cambridge Harvard University Press, 2002, 53. kan dengan Michelle Campbell and Friends, Nonfiction Classics for Students Farmington Hills The Gale Group, 2002, 297. 6 Badiuzzaman Said Nursi, The Rays Collection, diterjemahkan oleh Sukran Vahide, 401. 7 Balitbang Kementerian Agama Alqur’an dan Terjemahnya, tahun 2007. 8 Tim penyusun kamus bahasa, Kamus Bahasa Indonesia Jakarta Pusat Bahasa, 2008, 12. 9 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice Baltimore Johns Hopkin University Press, 1984, 6. 10 Lihat Quraish Shihab, Wawasan Alqur’an , cet. Ke-9 Bandung Mizan, 1999, 113-117. Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2019, p. 167-181. 169 Seimbang bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan kelayakannya sehingga terdapat kesesuaian kedudukan dan fungsinya dibanding dengan individu lain. Untuk merealisasikan keadaan seimbang yang dimaksud, perlu adanya syarat, baik itu ukuran yang tepat pada setiap bagian dan pola kaitan antar bagian Jadi, substansi dari keseimbangan yang dimaksud bukan menuntut kesamaan sesuatu yang diperoleh, akan tetapi arahnya lebih kepada proporsionalitas. Pengertian yang demikian bisa dilihat dalam kandungan firman Allah SWT, al-Infiṭār 6-7 berikut .. Ungkapan dalam ayat tersebut, menurut Muḥammad al-Rāzi, bahwa ungkapan itu menunjukkan pemberian anugerah Allah kepada manusia berupa potensi keseimbangan dalam bentuk penciptaan yang sempurna, sehingga manusia bisa menerima anugerah lain berupa akal dan Sementara itu, dilihat dari sisi akal sebagai anugerah, dapat dikatakan bahwa akal adalah cahaya yang dapat digunakan manusia untuk membedakan dan menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik buruk. Manusia, dengan mudah, dapat mengetahui bahwa kezaliman itu hal yang buruk dan keadilan adalan hal yang baik dengan menggunakan Adil berarti sama Adil yang dimaksud yakni memperlakukan sama dengan tidak membeda-bedakan di antara setiap individu untuk memperoleh haknya. Pengertian seperti ini, menurut Quraish Shihab, lebih diarahkan kepada proses dan perlakuan hakim terhadap pihak-pihak yang berperkara, bukan persamaan perolehan yang didapatkan setiap individu di depan pengadilan terhadap objek yang diperkarakan. Kemudian juga, dengan melihat kandungan al-Nisā ayat 5814, bahwa sudah merupakan kewajiban hakim untuk tidak membedakan perlakuan terhadap pihak-pihak yang berperkara, misalnya, penyebutan nama, tempat duduk, memikirkan ungkapan yang diucapkan mereka, keceriaan wajah dan kesungguhan Adil dalam arti sifat yang dihubungkan dengan Allah 11 Lihat Muhammad Taufik, “Filsafat John Rawls tentang Teori Keadilan”, Mukaddimah, Vol. 19 No. 01 2013, 43-44. 12 Muḥammad al-Rāzī, Mafātiḥ al-Ghayb, juz 31 Beirut Dār al-Fikr, 1981, 81. 13 Taqī al-Mudarrisī, al-Tashrī al-Islāmī, juz 1 Bagdad Intisharāt al-Mudarrisī, 1999, 12. 14 al-Nisā 58 Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. 15 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung Mizan, 1998, 114. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 170 Adil merupakan salah satu sifat Allah adalah adil. Bahkan menurut Mu’tazilah sifat adil adalah sifat afāl Allah yang paling tinggi dibandingkan dengan sifat-Nya yang lain. Oleh karena itu mereka dijuluki dengan al-firqah al-adlīyah. Menurut mereka, Allah adalah zat yang maha pencipta. Setiap penciptaanya pasti mempunyai hikmah dan tujuan tertentu. Jika Allah menetapkan suatu hukum pada sesuatu, maka pasti di dalamnya terkandung sebuah keadilan. Kemudian, apabila di dalam penetapan tersebut tidak terdapat tujuan yakni keadilan, maka perbuatannya menjadi sia-sia, dan itu merupakan hal yang mustahil bagi Allah. Pendapat demikian dibantah oleh al-Ash’ariyah yang menyatakan segala yang diciptakan Allah baik berupa benda maupun hukum tidak termuat di dalamnya tujuan al-gharḍ. Karena, apabila itu terjadi, maka Allah menjadi zat yang butuh terhadap sesuatu, yakni realisasi dari tujuannya dalam menciptakan sesuatu, sedangkan hal yang demikian sesuatu yang dituju adalah hal yang tidak dapat dimengerti oleh Akan tetapi adil yang dimaksud bukan merupakan keadilan yang disandarkan kepada pemahaman manusia tentang kaitan adil dengan kebaikan dan Hal ini, karena setiap ketentuan dan kehendak Allah adalah adil, walaupun tekadang adil dalam ketentuan tersebut tidak terjangkau oleh oleh akal dan bahkan dianggap tidak adil dari sudut pandang manusia. Hal ini terjadi karena ide mengenai kebaikan dan keburukan dalam perbuatan adalah sesuatu yang berlaku pada manusia, disebabkan adanya suara hati etika manusia yang dibentuk dari ide relatif, bukan ide Jadi, dapat disimpulkan bahwa keadilan yang disandarkan kepada Allah merupakan keadilan yang terlepas dari penganalogian manusia tentang baik dan buruk yang dibentuk oleh ide manusia. Berbeda dengan dengan keadilan menurut manusia, keadilan Allah merupakan keadilan yang terkandung dalam wahyu-Nya yang diberikan kepada para utusan Rusul Allah, sebagai refleksi sebuah kepastian yang istimewa dari Allah dan karunia terhadap alam yang diciptakan-Nya. Dengan adanya manifestasi kehendak Allah dalam firman-Nya, maka akan tercapai keadilan dan keseimbangan. Keadilan ilahi pada dasarnya rahmat dan kebaikan-Nya, dengan tidak mempertimbangkan perbuatan yang dilakukan oleh manusia dan tidak tertahan sejauh makhluk itu dapat memperolehnya. Hal demikian tercermin dalam firman Allah Ali Imran 18 berikut 16 Aḥmad Mahmud ṣabahī, al-Falsafah al-Akhlāqīyah fī al-Fikr al-Islāmī, cet ke-2 Iskandaria Dār al-Maārif, 45. Juga lihat Hānim Ibrāhīm Yūsuf, Aṣl al-Adl inda al-Mu’tazilah Kairo Dār al-Fikr al-Arabī, 1993, 151-153, dan lihat Muḥammad Nawāwī al-Jāwī, Tījān al-Durārī Surabaya Dār al-Ilm, 4. 17 Leonid Sykiainen “Said Nursi’s Approach to Justice and Its Role for Political Reforms in the Muslim World” Diakses 04/11/2013. 18 Murtaḍa al-Muṭahharī, al-Adl al-Ilāhī Beirut Shabkah al-Fikr, 55-57. Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2019, p. 167-181. 171 .Ungkapan , menurut Ibn al-Qāyīm al-Jawzīyah, menunjukkan bahwa setiap hukum Allah yang di-taklif-kan kepada umat-Nya mengandung unsur keadilan dalam bentuk kebenaran, tetap sasaran, dan terdapat hikmah di Adil dalam arti perhatian dan pemberian terhadap hak-hak individu Yang dimaksud dengan adil terhadap individu merupakan perlakuan adil terhadap individu dengan memberikan hak sesuai dengan apa yang harus diterimanya. Dengan kata lain, setiap individu yang menjadi bagian dari masyarakat, maka ia berhak mendapatkan hak sebgaimana hak yang juga dirasakan oleh anggota masyarakat lain, dengan tidak merampas hak orang lain. Kebalikan adil yang dikehendaki disini merupakan kebalikan dari sifat al-Z{ulm aniaya. Di antara perbuatan aniaya, yaitu pencurian dan pengambilan secara paksa, karena perbuatan-perbuatan tersebut adalah prilaku yang merugikan orang Diskusi atau pembicaraan mengenai keadilan banyak dilakukan dari berbagai sisi keilmuan. Hal ini karena keadilan merupakan suatu nilai virtue yang plural. Keadilan, misalnya dibicarakan di kalangan filusuf, bahkan dimulai sebelum tahun masehi. Hal tersebut dapat dilihat munculnya teori-teori mengenai keadilan yang dikeluarkan oleh mereka. Misalnya menurut Plato w. 347 SM, yang dimaksud dengan keadilan adalah pemberian kepada setiap orang berdasarkan haknya giving each man his due. Selain itu menurutnya, adil mempunyai keterkaitan yang erat dengan perasaan ada tidaknya rasa senang, karena keadaan senang tersebut diakibatkan tidak terjadinya prilaku aniaya terhadap individu. Menurutnya pula, ketika keadilan ini tercapai, maka dengan keadaan sadar ataupun tidak sadar, sudah menciptakan hubungan baik dengan Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa keadilan menurut Plato tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi individu dalam masyarakat. Juga, keadilan yang ideal akan tercapai bila dalam kehidupan semua unsur masyarakat sebagai individu dapat menempatkan dirinya pada proporsi masing-masing dan bertanggung jawab penuh terhadap tugas mereka, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota kelompok. 19 Selain setiap afāl Allah itu adil, Dia juga memberikan perintah untuk berbuat adil dalam mengambil atau memberikan suatu keputusan hukum. Lihat Muhammad Ibn Naṣr, “ḍawābiṭ al-Adl bayn al-Zawjāt”, al-Adl, 2007 , 29-30 dan lihat Ibn al-Qāyīm al-Jawzīyah, al-ḍaw’ al-Munīr ala al-Tafsīr, jilid 2 Riyāḍ Maktabah Dār al-Salām, 20. 20 Lihat Aḥmad Amīn, al-Akhlāq, cet. Ke-2 Kairo Dār al-Kutub, 1931, 173. 21 Plato, The Republic of Plato, diterjemahkan oleh Allan Bloom London, Basic Books, 1968, 6, 34 dan 303. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 172 Kaitannya dengan term keadilan, Aristoteles w. 22 SM menjadikan keadilan dibagi dalam lima bentuk, yaitu pertama, keadilan komutatif, yaitu perlakuan terhadap seseorang tanpa melihat jasa-jasa yang dilakukannya. Kedua, keadilan distributif, yaitu perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa yang telah dibuatnya. Ketiga, keadilan kodrat alam, yaitu memberi sesuatu sesuai dengan yang diberikan orang lain kepada kita. Keempat, keadilan konvensional, yaitu seseorang yang telah mentaati segala peraturan perundang-undangan yang telah diwajibkan. Kelima, keadilan menurut teori perbaikan adalah seseorang yang telah berusaha memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar. Menurut Aristoteles, gambaran suatu tindakan yang mencerminkan keadilan dapat dilihat pada seseorang, yang meperlakukan dirinya dan orang lain dengan perlakuan yang sama – dengan pertimbangan yang rasional dan tidak mengakibatkan kerugian. Karena ketika didasari dengan hal tersebut, seringkali individu bahkan kelompok berbuat sesuatu ditunggangi oleh kepentingan pribadi yang merugikan orang Menurut John Rawls 1971, keadilan tidak lain merupakan nilai yang paling utama dalam tatanan institiusi sosial, sebagai sebuah kebenaran pemikiran sistem. Karena, sebaik apapun teori sebuah hukum atau norma lainnya, tidak bisa berjalan dengan baik apabila terjadi benturan hak antar individu, dalam hal pemenuhan kebutuhan misalnya. Oleh karena itu, perlu adanya rumusan atau formulasi yang tepat agar keadilan tersebut dapat terealisasi dengan Rawls menambahkan, ukuran yang harus diberikan untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama harus diperkuat oleh tiga prinsip keadilan yaitu 1 kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, 2 perbedaan, 3 persamaan yang adil atas Walaupun demikian, menurut Philip Pettit, teori yang diungkapkan oleh Rawls hanya memberikan skema teori yang memadai untuk rasa keadilan tertentu, dan tidak mengakomodir keadaan yang Aḥmad Amīn berpendapat bahwa keadilan bisa dibagi menjadi 2 macam, yakni keadilan personal dan keadilan sosial. Keadilan personal dapat didefinisikan sebagai perlakuan adil kepada setiap individu sesuai dengan hak yang harus diterimanya sebagai bagian dari sebuah kumpulan orang atau masyarakat, dengan memperoleh sesuatu yang menjadi haknya, seperti yang diterima individu lain. Adapun yang dimaksud dengan keadilan sosial masyarakat yang berkeadilan, menurut Amīn, adalah keadaan sebuah masyarakat yang menggambarkan adanya keteraturan norma-norma, dan peraturan-peraturan yang memberikan setiap 22 Aristotle, Nichomachean ethics, diterjemahkan dan diedit oleh roger Crisp New York, Cambridge University Press, 2000, 89-102. Mohammad Reza Heidari, “A Comparative Analysis of Distributive Justice in Islamic and Non-Islamic Frameworks” Islamic Confrerence iECON, 2007, 2. 23 John Rawls, A Theory of Justice, 6th Cambridge Harvard University Press, 2002, 47. 24 John Rawls, A Theory of Justice, 48-51. 25 Philip Pettit, Theory and Decision Dordrecht Reidel Publishing Company,1974, 323. Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2019, p. 167-181. 173 anggota masyarakat mendapatkan kemudahan akses untuk memenuhi kebutuhan hidup sesuai dengan kemampuan Menurut Amīn pula, ada beberapa faktor yang dapat menjadikan keadilan personal tidak dapat tercapai, yakni pertama, rasa cinta yang berlebihan, adanya sifat tersebut mengakibatkan orang tua misalnya, tidak mampu menghukum anaknya yang bersalah, kedua, adanya asas manfaat, umpamanya seorang hakim lebih memperhatikan salah satu pihak yang berperkara karena ada hal tertentu, seperti sogokan dan kongkalikong, ketiga, aspek eksternal, misalnya salah satu pihak yang berperkara terlihat lebih menarik dibanding pihak yang Padahal seharusnya, dalam memperlukan kedua pihak pada suatu peradilan tidak ada dibeda-bedakan, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Abū al-Qāsim al-Dībājī 2003 mengatakan, para filusuf membagi adil al-Adl, berdasarkan hasil akal28 manusia menjadi dua macam, yaitu al-adl al-ṭabīī dan al-adl al-waḍī. maksud dari al-adl al-ṭabīī, ialah pemikiran bersih dengan keinginan besar yang dimiliki oleh akal manusia untuk memahami dan melihat jelas hak-hak bawaan sejak lahir yang patut didapat oleh manusia. Hak yang dimaksud, dapat dipecah menjadi dua bagian, yakni al-haqq al-dākhilī hak internal dan al-haqq al-khārijī hak eksternal. Kemudian, menurut al-Dībājī hak internal dapat juga dibagi menjadi tiga, yaitu al-ḥaqq al-khāṣ, al-ḥaqq al-ām dan al-ḥaqq al-iqābī. Selanjutnya, al-adl al-waḍī adalah suatu pencapaian baik sebagai hasil jerih payah akal di mana dapat membuat suatu norma atau aturan hukum yang menjadikan terciptanya persamaan dan keadilan di antara individu Dalam konsep keadilan yang terdapat dalam Islam, khususnya keadilan yang kaitannya dengan kehidupan sosial tentu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai konsep ketuhanan, alam, hidup, dan manusia. Hal ini, karena keadilan merupakan bagian dari agama Islam. Adapun dasar dari keadilan sosial atau masyarakat yang berkeadilan menurut Sāyid Quṭb, adalah 1 al-Taḥarrur al-Wijdānī al-Muṭlaq, yakni keadaan dimana setiap individu sebagai bagian dari suatu kelompok tidak merasa tertekan dalam kehidupannya, terutama urusan dalam kegiatan beragama, 2 al-Musāwah al-Insānīyah al-Kāmilah, yakni suatu keadaan yang menggambarkan bahwa setiap perorangan mempunyai kedudukan yang sama di depan Tuhan Yang Maha Esa, 3 al-Takāful al-Ijtimā’ī al-Wathīq, yakni keadaan dimana setiap individu dijamin kebebasannya untuk melakukan apapun yang di kehendaki, dengan dibatasi oleh hak dan kepentingan 26 Aḥmad Amīn, al-Akhlāq, cet. Ke-2, 173. 27 Aḥmad Amīn, al-Akhlāq, cet. Ke-2, 175-76. 28 Muḥammad Taqī al-Mudarrisī, al-Tashrī al-Islāmī, juz 1, 14. 29 Lihat Abū al-Qāsim al-Dībājī, “al-Adl Dirāsah Mu’āṣirah”, Dirāsāt fī Uṣūl al-Dīn 2003, 14-16. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 174 anggota masayarakat Selain itu juga, keadilan dalam Islam merupakan inti sari Islam dan ruhnya, dan sesuatu yang dapat memberikan manusia perasaan aman, selamat, dan kehidupan yang Menurut Hashim Kamali, keadilan dalam Islam sering kali dianggap bias bahkan dipertanyakan para peneliti yang berlatar belakang Barat. Mereka mengklaim bahwa Islam tidak mengakomodir dan mengenal hak-hak dasar yang dibutuhkan oleh Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian mereka yang menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat diskriminasi di dalamnya. Menurut mereka adil atau keadilan pasti berarti sama besar equal. Padahal, keadilan tidak hanya didefinisakan dengan arti “sama” sebagaimana telah diterangkan pada awal bab ini. Dengan adanya pembahasan yang komprehensif mengenai kesemuanya, akan ditemukan karakter jelas mengenai keadilan yang terdapat dalam Islam, misalnya karakter hubungan antara makhluk dengan sang pencipta ḥabl min Allāh33, karakter hubungan antara manusia dengan makhluk lainnya, individu dengan masyarakat, dan hubungan antara personal dengan pemerintahan. Ini terjadi, karena keadilan sosial yang terdapat dalam Islam bersumber pada Alqur’an dan Hadis, sebagai dasar Konsep keadilan, baik dalam tataran hukum maupun yang lainnya merupakan sesuatu yang abstrak dan subjektif, karena tidak adanya parameter yang baku dan resmi untuk menilai ada tidaknya keadilan. Misalnya mengenai penilaian terhadap keadilan dan kesetaraan jender. Pada masyarakat umum, masih belum paham betul mengenai keadilan dan kesetaraan khususnya dalam kaitannya dengan jender, karena adanya penilaian parsial. Padahal, menurut Nasaruddin Umar, ada beberapa faktor yang dapat dijadikan ukuran sebagai pedoman dalam melihat prinsip-prinsip keadilan atau kesetaraan jender dalam Alqur’an, yaitu 1 laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah SWT, 2 laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi, 3 laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensial meraih prestasi, 4 laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial dengan Allah, 5 Adam dan Hawa terlibat aktif dalam drama kosmis ketika di Surga. 35 Hal 30 Lihat al-Adalāh al-Ijtimāīyah fī al-Islām oleh Sāyid Quṭb, Kairo Dār al-Shurūq, 1995, 31-53. 31 Lihat Abullāh Aḥmad al-Yūsuf, al-Adālah al-Ijtimā’īyah fī al-Qur’ān al-Karīm 2008, 17. diunduh 23/10/2013. 32 Lihat Mohammad Hashim Kamali, Shari’ah Law An Introduction Oxford, Oneworld, 2008, 199. 33 Hubungan tersebut berupa peng-Esa-an al-tawhīd dan ibadah mahḍah, seperti shalat, puasa dan zakat. Hal tersebut merupakan manifestasi dari inti keimanan dan keislaman yang dimaksud oleh Nabi SAW dalam salah satu sabdanya. 34 Lihat Sāyid Quṭub, al-Adalah al-Ijtimā’īyah fī al-Islām, 20. 35 Lihat Prinsip-Prinsip Kesetaraan Gender oleh Nasaruddin Umar, “Perspektif Jender dalam Islam” 1999. diakses 13/11/2013. Aqlania Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2019, p. 167-181. 175 ini karena keadilan bukan merupakan sesuatu yang terbatas dalam ruang tertentu atau bidang permanen dalam aturan ataupun prinsip. Selain itu, keadilan dapat dipahami dan ditelusuri dengan lebih baik apabila kita memikirkannya sebagai sesuatu aturan dalam praktek-praktek yang terkait dengan hal Walaupun keadilan bukan dianggap sesuatu yang kongkrit, setidaknya menurut menurut Chainur Arrasjid, ada beberapa azas yang dapat dijadikan ukuran eksistensi keadilan, yaitu37 pertama, azas persamaan, keadaan yang menunjukkan setiap orang mendapatkan bagian secara merata, kedua, azas kualifikasi, yakni azas yang merujuk kepada pada kenyataan bahwa suatu beban tugas diberikan kepada personal yang mempunyai kemampuan untuk mengerjakannya, ketiga, azas prestasi objektif, keadaan yang menggambarkan sesuatu diberikan kepada individu yang yang patut untuk menerimanya, misalnya penghargaan karena keahlian atau kemampuannya, keempat, azas kebutuhan, dimana setiap orang memperoleh bagian sesuai dengan kebutuhan dan keperluannya, dan kelima, azas subjektif, yang didasarkan pada syarat-syarat subjektif, seperti ketekunan, kerajinan dan ketelatenan. Seringkali, menurut Anthon Susanto, keadilan dan ketidakadilan disandingkan dan dipertentangkan dalam sebuah ruang kajian, misalnya di mana ada konsep keadilan maka akan ada konsep ketidakadilan. Dia memperkuat pendapatnya dengan mengemukakan kasus yang terjadi di Indonesia yang diakibatkan oleh antitesa dari keadilann di bidang hukum, misalnya ketidakadilan jender dalam masyarakat daerah, dan tebang pilih dalam penetapan suatu putusan Keadilan dalam lingkup keilmuan Islam khususnya hukum Islam, baik hukum yang didasari wahyu berupa Alqur’an dan Hadis, maupun yang didasari oleh hasil ijtihad ulama, dapat diperoleh secara komprehensif dengan menyertakan pendapat ulama dari era awal sampai saat ini. Kajian ini penting dilakukan, karena konsep-konsep umum Alqur’an dan Hadis mengenai keadilan dan penerapannya menurut penjelasan Nabi SAW., perlu dipahami dengan berbagai interpretasi dari berbagai sisi, misalnya teologis, mazhab fiqh dan Keadilan dalam agama Islam, sangat berkaitan erat dengan konsep etika perolehan dan pendistribusian harta benda. Manifestasi pendistribusiannya berupa sifat kedermawanan philanthropy, perbuatan baik amal ṣāliḥ, dan mementingkan orang lain. Hal ini karena dipengaruhi pola pikir mereka yang beragama Islam menganggap bahwa manusia itu mempunyai derajat dan hak yang 36 Lihat Jane Flax, “The Play of Justice Justice as a Transitional Space”, Political Psychology, Vol. 14, No. 2, June 1993, 332. diunduh 31/05/2012. 37 Lihat Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Jakarta Sinar Grafika, 2004, 56-61. 38 Lihat “Keraguan dan Ketidakadilan Hukum Sebuah pembacaan dekonstruktif” oleh Anthon F. Susanto dalam Jurnal Keadilan Sosial, edisi 1, 2010, 23. 39 Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 3-4. Hafidz Taqiyuddin Konsep Islam Tentang Keadilan 176 sama untuk memperoleh Dengan demikian, mengenai keadilan yang dikaitkan dengan hukum tidak dapat dilepaskan dari penalaran akal terhadap nilai kebaikan, karena keadilan merupakan bagian dari sebuah nilai kebaikan. Dari sini, dapat dilihat bahwa adil dan tidaknya suatu hukum didasari oleh hasil pemikiran akal. Pendapat demikian dilontarkan oleh Mu’tazilah41. Jadi, menurut mereka bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang Berbeda dengan Mu’tazilah, menurut Mātūridiyah43, bahwa segala sesuatu terdiri dari hal yang baik secara zatnya, sesuatu yang buruk secara zatnya, dan sesuatu yang berada di antara baik dan buruk. Maksudnya baik dan buruknya ditentukan oleh hukum Allah shar yang terdapat dalam Jadi, akal hanya membantu manusia memahami kebaikan dan keburukan terhadap hukum yang di-taklīf-kan kepada manusia. Pendapat Mātūridiyah di atas sama dengan pendapat Ashariyah45. Walaupun demikian terdapat perbedaan, yakni menurut mereka bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik dan buruknya ditentukan oleh Allah, sebagai Maha pencipta dan mengetahui. Juga ukuran baik dan buruk menurut Allah tidak dipengaruhi oleh Jadi dapat disimpulkan bahwa segala perintah Allah 40 Lihat Muhammad Reza Heidari, “A Comparative Analysis of Distributive Justice in Islamic and Non-Islamic Framework”, Islamic Conference 2007, 6. 41 Mu’tazilah merupakan salah satu mazhab dalam ilmu kalam yang berdiri di kota Baṣrah pada awal tahun kedua hijriyah. Mazhab ini didirikan oleh Wāṣil ibn Aṭā’ w. 131 H. sekitar tahun 81 H. sampai tahun 110 H. Mu’tazilah merupakan mazhab kalam yang lebih dulu terkenal dibanding mazhab pendahulunya, yakni Jaḥmīyah dan Qadarīyah. Kemudian diikuti oleh mazhab Ashariyah sebagai lawannya dan mazhab Māturidiyah sebagai pecahan dari Mu’tazilah. Mu’tazilah merupakan mazhab kalam yang mempunyai metode al-jam bayn al-manqūl wa al-maqūl gabungan dari hasil penalaran akal dan penelusuran wahyu. Lihat Hānim Ibrāhīm Yūsuf, Aṣl al-Adl inda al-Mu’tazilah Kairo Dār al-Fikr al-Arabī, 1993, 16-17. Lihat Ibn al-Murtaḍā, al-Manīyah wa al-Amal fī SharḤ al-Milal wa al-Niḥal Beirut Dār al-ṣādir, 4-10, dan lihat pula Aḥmad Mahmud ṣabahī, al-Falsafah al-Akhlāqīyah fī al-Fikr al-Islāmī, cet ke-2 Iskandaria Dār al-Maārif, 103 dan 181. 42 Aḥmad ibn Taymīyah, Daqā’iq al-Tafsīr, diedit oleh Muḥammad al-Jali
7itu sendiri Pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal adalah from ISLAMIC EC 123A at UIN Raden Fatah
Bagiseseorang yang memperhatikan Al-Qur'an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam ( Engineer 1999, hlm. 57-58). Keadilan dalam Islam tercermin dalam kandungan kitab suci nya, yaitu Al-Qur'an. Al-Qur'an menentang struktur sosial yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi Makkah
Dalammenggali dan mencari hukum untuk masalah yang belum ada nashnya, umat Islam harus berpegang pada prinsip berpikir dan bertindak demi terwujudnya tujuan hukum, yaitu kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Aktivitas berpikir ini hendaknya berpegang pada asas-asas hukum Islam yang telah digali dalam sumber hukum Islam itu sendiri.
IlmuTauhid adalah Pokok Ajaran Mengesakan Allah SWT. Ilmu tauhid yang berisi ajaran mengesakan Allah SWT sendiri terbagi menjadi tiga macam kajian. Yakni sebagai berikut: Tauhid Rububiyah. Kajian ini menjelaskan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya tuhan yang maha pencipta atau maha menciptakan, maha memiliki, maha mengatur dan maha berkehendak.
OVoX. 8d9g5hwkzu.pages.dev/868d9g5hwkzu.pages.dev/4568d9g5hwkzu.pages.dev/8648d9g5hwkzu.pages.dev/9428d9g5hwkzu.pages.dev/1488d9g5hwkzu.pages.dev/3738d9g5hwkzu.pages.dev/5408d9g5hwkzu.pages.dev/728d9g5hwkzu.pages.dev/3308d9g5hwkzu.pages.dev/4808d9g5hwkzu.pages.dev/9058d9g5hwkzu.pages.dev/6048d9g5hwkzu.pages.dev/9198d9g5hwkzu.pages.dev/5678d9g5hwkzu.pages.dev/40
keadilan itu sendiri adalah sendi pokok ajaran islam yang harus